Lampung Timur-Maklumatmedia.com- Irma Rahmalita Konselor Non-Klinis dan Konsultan Resiliensi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Kabupaten Lampung Timur melakukan pendampingan terhadap korban terdampak psikologis.
Pendampingan itu dilakukan terhadap 2 orang korban psikologis yang telah mengalami trauma guna mengikuti konseling ditempat Praktik Psikolog Klinis, Azola Arcilia Fajuita Kota Metro Propinsi Lampung pada Selasa, 9 Desember 2025 pukul 13.00 WIB.
“Hari ini akan ada pendampingan konseling traumatik yang dilakukan oleh psikolog terhadap 2 orang peserta,” tutur Irma Rahmalita kepada Wartawan media ini pada Selasa, 9 Desember 2025 pukul 13.22 WIB.
Terdapat 2 orang peserta yang mengikuti kegiatan konseling, diantaranya warga Kecamatan Braja Selebah berinisial, NA dan warga Kecamatan Sukadana berinisial, AO.
“Konseling diikuti oleh dua orang peserta, yang berasal dari Kecamatan Braja Selebah berinisial, NA dan yang dari Kecamatan Sukadana berinisial, AO,” kata Konselor Non-Klinis dan Konsultan Resiliensi Dinas PPA Lampung Timur itu.
Tujuan konseling traumatik memulihkan stabilitas emosional korban setelah mengalami peristiwa yang mengguncang.
“Konseling traumatik bertujuan untuk memulihkan stabilitas emosional korban setelah mengalami peristiwa yang mengguncang,” terang Irma panggilan keseharian Irma Rahmalita.
Melalui pendampingan yang aman, konseling membantu korban mencegah dampak psikologis jangka panjang.
“Melalui pendampingan yang aman, konseling membantu korban merasa kembali tenang, mengurangi kecemasan, serta mencegah dampak psikologis jangka panjang,” jelasnya.
Proses konseling memastikan korban mampu mengenali pemicu trauma hingga membangun kembali kepercayaan diri secara bertahap.
“Proses ini juga memastikan korban mampu mengenali pemicu trauma, memulihkan rasa kontrol diri, serta membangun kembali kepercayaan dan fungsi harian secara bertahap,” ujarnya.
Manfaat kegiatan konseling agar korban lebih stabil emosinya, bisa berfungsi di masyarakat tanpa ada tekanan.
“Sama manfaatnya, agar korban lebih stabil emosionalnya, bisa berfungsi di masyarakat seperti semula tanpa ada tekanan dan lebih kuat secara psikologis,” urainya.
Terutama kuat dalam menghadapi tekanan paradigma orang tentang korban, karena korban tidak bisa mengendalikan paradigma orang lain.
“Terutama kuat dalam menghadapi tekanan paradigma orang tentang dia, karena korban sendiri nggak bisa mengendalikan paradigma orang lain, yang bisa dikendalikan adalah diri sendiri agar lebih tangguh,” paparnya.
Karena korban pasti merasa bersalah dan malu padahal menjadi korban yang harus dilindungi dan didampingi.
“Karena korban pasti merasa bersalah dan malu padahal dia menjadi korban yang harus dilindungi dan didampingi dan diberikan penguatan psikologisnya,” pungkasnya. (RK/*)











